DEWI SARTIKA

 Perintis Sekolah Kepandaian Putri
Pada Desember ada dua peristiwa penting yang patut kita peringati. Pertama lahirnya tokoh pergerakan perempuan yang berasal dari Jawa Barat yakni Raden Dewi Sartika. Dan yang kedua adalah Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember.

Rd. Dewi Sartika lahir di Bandung, 4 Desember 1884 putri ke-2 dari lima bersaudara. Ayahnya Rd. Rangga Somanagara adalah Patih Afdeling Mangunreja ketika Rd. Dewi Sartika lahir. Dan tujuh tahun kemudian dilantik menjadi Patih Bandung. Kemudian ayahnya dibuang ke Ternate karena menentang Residen Priangan.

Pada 16 Januari 1904 ia mendirikan Sakola Isteri, tempat belajarnya di paseban barat depan  Pendopo Kabupaten Bandung dengan 60 orang murid dan tiga orang guru. Setelah berkembang pindah ke Jl. Ciguriang Kebon Cau (sekarang Jl. Kautamaan Isteri).

Menikah dengan Rd. Kanduruan Agah Suriawinata guru Eerste Klase School Karang Pamulang pada 1906 kemudian dikaruniai tiga orang anak semuanya perempuan.

Untuk mendukung pembangunan dan pengembangan Sakola Isteri, Residen Priangan membentuk Perkumpulan Kautamaan Isteri pada 5 November 1910 di Gedung Pakuan yang dipimpin langsung oleh isteri Residen. Dan Sakola Isteri pun dilengkapi namanya menjadi Sakola Kautamaan Isteri.

Karena semakin berkembang maka dibentuklah beberapa cabang antara lain di Sumedang, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut dan Purwakarta.

Sakola Kautamaan Isteri di Bandung pada 1913 telah memiliki 12 ruang belajar dengan 251 orang murid. Kurikulum pendidikannya mengutamakan keterampilan putri seperti menyulam, menyongket, membatik, merenda, memotong dan menjahit pakaian, termasuk keterampilan mengurus rumah tangga dan memasak. Pelajaran lainnya ialah berhitung, menulis, bahasa Sunda, bahasa Melayu, bahasa Belanda, belajar mengaji, salat, doa-doa dan pelajaran ibadat praktis lainnya.

Pada zaman kemerdekaan sekolah yang didirikan Dewi Sartika berubah menjadi Sekolah Kepandaian Putri.  Sekarang menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dewi Sartika dan tetap berada di Jl. Kautamaan Isteri. Beberapa lokal diantara peninggalan Rd.Dewi Sartika masih tetap dilestarikan hingga sekarang.

Ikut berperan Sukseskan Natico I CC SI 1916

Natico I CC SI singkatan dari Nationale  Congres Comeete Centraal Sarekat Islam atau dalam bahasa Indonesia menjadi Kongres Kebangsaan Pertama Komite Pusat Sarekat Islam pada 17-24 Juni 1916 di Bandung.

Nama kongres ini agak panjang dan merupakan kongres ke-4 dari Sarekat Islam. Namun kongres sebelumnya masih bersifat lokal (daerah). Kongres I di  Surabaya, 26 Januari 1913 yang dihadiri oleh Sarekat Islam Lokal. Kongres membentuk Comeete Centraal Sarekat Islam dengan H. Samanhudi sebagai Presiden dan H.O.S.Tjokroaminoto sebagai Vice President. Artinya Sarekat Islam tidak lagi bersifat lokal tetapi sudah bersifat nasional.

Kemudian membagi wilayah Indonesia menjadi tiga wilayah binaan yaitu: Wilayah Indonesia bagian Timur pusatnya di Surabaya meliputi daerah Jawa Timur, Sulawesi dan Nusa Tenggara dibina oleh H.O.S.Tjokroaminoto. Wilayah Indonesia bagian Tengah pusatnya di Solo meliputi daerah Jawa Tengah dan Kalimantan dibina oleh H. Samanhudi. Wilayah Indonesia bagian Barat pusatnya di Bandung meliputi daerah Jawa Barat dan Sumatra dibina oleh R. Gunawan.

Kongres II di Taman Sriwidari Solo, 29 Maret 1913. Kongres menetapkan untuk beraudensi kepada Gubernur Jenderal A.W.F. Indenburg untuk mendapatkan recht persoon  yakni status badan hukum bagi Sarekat Islam secara central atau nasional. Kongres III di Mataram (Yogyakarta) pada 18 April 1914 memilih H.O.S.Tjokroaminoto sebagai President dan R. Goenawan sebagai Vice President.

Agenda Kongres Nasional Pertama Sarekat Islam

Kongres Nasional Komite Sentral Sarekat Islam merupakan perwujudan kongres kebangsaan pertama pasca Perang Sabil mengusir penjajahan, sekaligus sebagai pembuka lembaran baru perjuangan pergerakan nasional untuk mencapai Kemerdekaan Sejati. Kongres selama sepekan ini memiliki agenda yang sangat padat.

Pekan Raya

Selama sepekan mulai 17 sampai 24 Juni 1916 di Alun-alun Bandung seperti ada perhelatan akbar. Seluruh alun-alun dihias, tarup pesta yang besar dibangun. Di tempat itu dibuka buffet untuk menjual makanan dan minuman. Gubuk-gubuk dibangun berderet dalam garis yang rapih tempat memamerkan dan menjual bermacam-macam barang kerajinan. Masing-masing stand  pameran dan buffet dijaga dan dilayani oleh mojang-mojang dan jajaka Bandung yang gareulis (cantik-cantik) dan karasep (tampan-tampan) termasuk alumnus Sakola Kautamaan Isteri. Dan khusus di Kampus  Sakola Keutamaan Isteri yang dipimpin oleh Rd. Dewi Sartika diadakan bazaar dan pameran kerajinan hasil karya murid-murid sekolah tersebut. Jarak dari alun-alun Bandung ke Sakola Kautamaan Isteri tidaklah terlalu jauh dan mudah dijangkau dengan jalan kaki.

Keikut-sertaan guru-guru dan murid-murid termasuk alumnus Sekolah Keutamaan Isteri mensukseskan Kongres Nasional Pertama Komite Sentral Sarekat Islam menjadi bukti, bahwa wanita Indonesia tidak ketinggalan dari kaum laki-laki sebagai pendukung peradaban dan ikut berjuang mencapai kemajuan yang berkeadaban.

Ahad siang  18 Juni 1916 diadakan pawai akbar (pawai ta’aruf), berjalan teratur melalui jalan-jalan raya kota Bandung yang diikuti oleh utusan  daerah. Kemudian setiap siang hari diadakan perlombaan olah raga. Dan pada malam hari  digelar pertunjukan wayang golek dan pemutaran film di bioskop-bioskop. Selama kongres, malam  hari alun-alun Bandung semakin meriah dengan lampion-lampion yang warna-warni dan pajangan-pajangan yang semarak.

Rapat-rapat

1. Rapat pendahuluan  pada Sabtu, 17 Juni 1916 dan  rapat-rapat tertutup.
Rapat-rapat ini diikuti  oleh Centraal Bestuur (Pengurus Pusat) dan 16.000 orang dari 80 utusan daerah dari seluruh Indonesia secara khusus mewakili tidak kurang dari 360.000 orang anggota aktif dan seluruh umat Islam serta mewakili bangsa Indonesia pada umumnya yang oleh Pemerintah Jajahan Belanda disebut sebagai bangsa Inlander atau bangsa Bumiputra.

2. Dua rapat terbuka di alun-alun Bandung pada hari Ahad dan Senin,18 dan 19 Juni 1916. Rapat ini bersifat rapat umum (terbuka, seperti kampanye Pemilu). Siapa saja boleh datang untuk mendengarkan pidato-pidato dari Centraal Bestuur atau tokoh-tokoh lokal lainnya.

3. Enam rapat disalah satu bangsal Societeit Concordia (sekarang gedung Merdeka) yang hanya dapat dihadiri oleh para utusan (wufud) dan anggota Sarekat Islam Lokal, serta undangan dan utusan-utusan dari pergerakan sahabat dan pers. Diantaranya ada 4 orang Jepang seorang diantarnya redaktur Majalah Pertimbangan.

Kongres dipimpin langsung oleh President Sarekat Islam Yang Utama H.O.S.Tjokroaminoto, tentu dengan bahasa Melayu sebagai bahasa dakwah yang kemudian dideklarasikan sebagai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang menjadi bahasa pemersatu suku-bangsa yang berdiam di wilayah Nusantara yang mayoritas beragama Islam. Ketika itu beliau berusia 34 tahun, karena beliau dilahirkan pada 16 Agustus 1882, setahun sebelum meletusnya Gunung Krakatau yang getarannya terasa hingga ke daratan Amerika. Seolah sebagai isyarat kebangkitan bangsa jajahan yang juga disebut sebagai bangsa Bumiputra.

H.O.S. Tjokroaminoto adalah keturunan priyayi dan santri sekaligus. Pantas jika beliau memiliki pengetahuan yang lengkap, termasuk keterampilan beladiri pencak-silat dan menguasai beberapa tarian Jawa. Buyutnya adalah seorang ulama besar pengelola Pesantren Tegalsari Ponorogo yaitu Kiayi Bagus Hasan Basari yang dipulung mantu oleh Susuhunan II Surakarta. Dari putri kraton itu lahirlah Raden Mas Adipati Tjokronegoro yang  berputra Raden Mas Tjokroamiseno yang kemudian menjadi Wedana di Kloco Madiun selanjutnya menjadi Bupati Ponorogo ramanda Raden Mas Tjokroaminoto.

Setelah Raden Mas Tjokroaminoto menunaikan ibadah haji, maka gelar kebangsawanannya ditinggalkan, blangkonnya ditanggalkan. Beliau lebih suka memakai nama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dan mengenakan peci sebagai identitas kebangsaan (yang kemudian menjadi peci nasional). Dan beliau mengabadikannya dalam sebuah “potret revolusi” duduk tumpang kaki, kumis melintang, berpeci, pakai jas tutup dan mengenakan sarung, gaya yang tidak lazim bagi kalangan ningrat “tempo doeloe”.

H.O.S.Tjokroaminoto adalah santri angkatan terakhir dari Pesantren Tegalsari pimpinan Kiayi Bagus Hasan Basari yang oleh kakeknya dinamakan Pesantren Gebang Tinatar. Sedangkan santri angkatan pertamanya adalah Ronggowarsito yang kemudian menjadi seorang pujangga yang terkenal.

Dewi Sartika diundang ke Surabaya

Disela-sela kegiatan kongres H.O.S. Tjokroaminoto dan pengurus besar Sarekat Islam lainnya, didampingi pengurus lokal Sarekat Islam Kota Bandung termasuk di dalamnya Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suami Dewi Sartika, yang memang sejak awal ikut aktif mempersiapkan dan menyukseskan pelaksanaan kongres, menyempatkan diri mengunjungi bazaar dan pameran kerajinan yang diselenggarakan oleh guru-guru dan murid-murid Sakola Kautamaan Isteri dibawah asuhan Rd. Dewi Sartika.

Pak Tjokro, begitu panggilan akrabnya beserta rombongan, sangat terkesan dengan penyelenggaraan pameran tersebut. Kreatifitas dan keterampilan wanita seperti itu merupakan bagian dari obsesi beliau sebagai pemimpin sebuah pergerakan besar. Di lingkungan Sarekat Islam sendiri mulai digalakkan kegiatan kewanitaan yang kemudian diberi nama Wanita Sarekat Islam. Dalam kesempatan berbincang-bincang dengan Dewi Sartika yang didampingi suaminya, Pak Tjokro mengundang Dewi Sartika berkunjung ke Surabaya untuk memberikan ceramah atau penyuluhan tentang kewanitaan bagi Wanita Sarekat Islam di sana. Dewi Sartika merasa mendapat kehormatan dari seorang pengurus besar sebuah organisasi yang sedang naik daun, langsung menyatakan kesediaannya.

Itulah awal Dewi Sartika memasuki kancah pergerakan nasional. Dan sejak itu Dewi Sartika sering memenuhi undangan untuk memberikan ceramah dan penyuluhan tentang kewanitaan di berbagai tempat terutama daerah binaan Sarekat Islam seperti Bogor, Cianjur, Sukabumi dan Garut. Kegiatan tambahan ini adalah menjadi peluang bagi Dewi Sartika untuk mengembangkan gagasan-gagasan dalam meningkatkan kemauan dan kemampuan kaum wanita Bumiputra. Bahkan kesempatan itu sering dimanfaatkan untuk menyampaikan protes terhadap prostitusi, pelecehan terhadap pekerja dan buruh wanita yang sering mendapat upah yang lebih rendah dari laki-laki. Termasuk ketidak-setujuannya terhadap orang-orang yang sering mempermudah terjadinya poligami.

Perempuan Pendukung Peradaban

Islam sangat menghormati dan memuliakan kaum perempuan. Islam-lah yang pertama kali melarang mengubur bayi perempuan hidup-hidup pada zaman jahiliyah. Dan Islam pula yang telah memberi jaminan masuk sorga kepada beberapa perempuan pendukung peradaban yaitu Asiah isteri Firaun, Maryam binti Imran yang terkenal sebagai perawan suci dan namnya diabadikan menjadi sebuah nama surat dalam kitab suci Alquran. Berikutnya adalah Siti Khadijah binti Khuwailid dan Siti Fatimah binti Muhammad SAW. Dan perlu diingat bahwa Allah Swt telah memberi penghormatan kepada kaum perempuan dengan menamakan  surat ke 4 dalam kitab suci al-Qur’an dengan nama “perempuan” yakni surat an-Nisa 176 ayat yang tergolong 7 surat yang panjang (as-sab’ut thiwal).

Rasulullah Saw disamping memiliki seorang ibu biologis yaitu Siti Aminah, juga memiliki ibu susu yaitu Halimatus Sa’diyah. Kemudian beliau juga memiliki ibu asuh yaiitu Ummu Aiman. Ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw “Siapa yang pertama-tama harus kita hormati dan muliakan? Beliau menjawab, “Ibumu!”, kemudian siapa lagi, beliau menjawab “Ibumu!” selanjutnya siapa lagi, beliau menjawab “Ibumu!”, kemudian “Bapakmu!”. Tiga kali beliau menyebut Ibnumu dan hanya satu kali menyebut Bapakmu. Ini menunjukkan bahwa kodrat seorang perempun itu adalah melahirkan, menyusui dan mengasuh. Idealnya ketika peran ini bersifat komulatif, melekat pada setiap perempuan. Namun tidak menutup kemungkinan karena kondisi tertentu peran ini menjadi alternatif seperti yang terjadi pada diri Rasulullah Saw. Maka ketika Rasulullah Saw menyebut orang yang pertama-tama wajib dimuliakan adalah “Ibu”, baik sebagai ibu biologis, atau ibu susu maupun sebagai ibu asuh. Dan doa ketiga “ibu” ini insya Allah sama-sama mustajabnya.

Dalam khazanah Islam tercatat sejumlah perempuan pendukung peradaban. Tidak kurang dari 35 perempuan yang menyertai perjuangan Rasulullah Saw baik sebagai isteri, putri maupun sahabat perempuan yang memiliki keistimewaan masing-masing. Sebut saja Siti Khadijah binti Khuwailid yang menjadi isteri setia, penyokong utama awal kerasulan Nabi Muhammad Saw. Siti Fatimah putri beliau yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk membela kehormatan sang ayah. Siti Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq isteri sekaligus pengawal sunnah Rasul, Siti Hafsah binti Umar ibnu Khattab isteri sekaligus penjaga mushaf al-Imam, dan seterusnya.

Tentang betapa pentingnya peranan perempuan dalam kehidupan, salah satu poin keputusan penting Kongres Perempuan Indonesia pada 20 s.d 24 Juli 1935 di Jakarta menetapkan, bahwa “Kewajiban utama wanita Indonesia ialah menjadi Ibu Bangsa yang berarti berusaha menumbuhkan generasi baru yang lebih sadar akan kebangsannya”. Kewajiban ini tentu saja pertama-tama bermula dari rumah tangga yang saat ini tengah mengalami dekadensi moral. Karenanya menjadi kewajiban seluruh komponen bangsa untuk mengembalikan fungsi rumah tangga sebagai institusi hulu dan basis kehidupan beragama. Dari rumah dan pangkuan ibulah si anak generasi bangsa mulai diperkenalkan benih-benih “kemanusiaan yang adil dan beradab” yang telah ditetapkan sebagai ideologi berbangsa dan bernegara dalam Pancasila Dasar Negara.

Jejak sejarah dan arah perjuangan

Apa yang telah mereka lakukan baik untuk Islam pada umumnya, maupun untuk bangsa Indonesia khususnya merupakan jejak sejarah sekaligus pemberi arah perjuangan generasi anak bangsa.

Desember 2015 ini tepat 131 tahun kelahiran Rd. Dewi Sartika yang bulan ini juga diperingati sebagai Hari Ibu ke-87. Agustus 2015 yang lalu 133 tahun kelahiran H.O.S. Tjokroaminoto. Dan Oktober 2015 110 tahun berdirinya Syarikat Islam. Jadi ketika diadakan Kongres Nasional Pertama Komite Sentral Sarekat Islam di Bandung pada tahun 1916, usia Dewi Sartika baru 32 tahun terpaut dua tahun dengan usia H.O.S.Tjokroaminoto, suatu usia yang penuh vitalitas dan sangat produktif.

Dan  untuk ukuran Indonesia usia seperti itu sudah eksis pada tingkat nasional termasuk masih jarang. Kita patut bersyukur kehadirat Allah Yang Maha Esa yang mengaruniai putra-putri terbaik sebagai pendukung peradaban. Semoga amal perjuangan mereka menjadi amal saleh yang dapat menghantarkan mereka ke depan pintu gerbang sorga, dan seyogyanya anak bangsa negeri ini jangan sampai kehilangan jejak sejarah dan kehilangan arah perjuangan dalam menapaki dan menelusuri belantara kehidupan yang sarat dengan berbagai godaan dan tantangan. Billahi fi Sabilil Haq!.


(Diolah dari berbagai sumber terutama Bunga Rampai Sejarah oleh Mr. Mohamad Roem dan Sang Perintis R. Dewi Sartika oleh Yan Daryono).

0 komentar:

Posting Komentar

PENERIMAAN SISWA BARU

Yayasan Pendidikan Dan Sosial Pondok Pesantren Menerima Pendaftaran Siswa Baru Mulai Pertengahan Mei 2016, Untuk Tahun Ajaran 2016-2017 Jenjang Pendidikan : SMP Berbasis Pesantren Hidayatus Saalikin, Madrasah Aliyah Juga Umum ( SMK-SMA) Dengan ketentuan mentaati dan patuh pada tata tertib Pondok Pesantren...... BACA SELENGKAPNYA