Senin, 13 Juni 2016

PERAN SERTA SMP BERBASIS PESANTREN




Sebagai Upaya Menanamkan Pendidikan Karakter kepada Generasi Bangsa
Di tengah arus globalisasi dan modernitas seperti sekarang ini, karakter dan moralitas bangsa menjadi satu dari sekian banyak persoalan utama yang dialami oleh negara-negara berkembang, termasuk Indone-sia. Bagi negara-negara kapitalis, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk memasarkan berbagai produk budayanya. Selain memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, sebagian masyarakat Indonesia mempunyai sifat konsumtif dan latah sehingga sangat berpotensi dijadikan pangsa pasar yang menguntungkan bagi produk-produk dari bangsa lain. 

Meskipun tidak semua produk budaya asing menimbulkan dampak negatif, namun hendaknya kita perlu berhati-hati dengan menyaring produk-produk asing yang bernilai positif dan mana yang kurang bermanfaat bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan bangsa. Apabila tidak ada upaya untuk memilah dan memilih, maka akan menimbulkan persoal- an di kemudian hari, salah satu yang paling riskan adalah karak ter generasi muda Indonesia yang terancam luntur, bahkan akan hilang. Adalah suatu kerugian besar apabila anak-anak negeri ini tidak lagi memiliki karakter luhur yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Upaya untuk menyaring, memilah, dan memilih bukan berarti menolak semua produk budaya asing yang masuk ke negeri ini. Apabila ada produk-produk budaya asing yang bernilai manfaat, seperti disiplin yang tinggi, kerja keras, dan lain-lain tidak menjadi masalah jika kita menerimanya. Sebaliknya, apabila produk-produk budaya asing itu dicuri- gai dapat menimbulkan efek yang kurang baik, dalam hal apapun, maka sebaiknya kita lebih bijak dalam menyikapi-nya.

Indonesia bukanlah bangsa yang menutup diri dari per- gaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Justru Indonesia harus segera berbenah dan berupaya sekuat tenaga agar dapat bersaing dengan negara-negara lain di berbagai sektor kehidupan, tanpa harus meninggalkan karakter dan ciri khas lokal yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan zaman yang terus berjalan menuju masa depan yang semakin kompleks dibutuhkan suatu strategi yang mampu mengintegrasikan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosional para genera- si bangsa. Salah satu sektor yang paling berperan dalam hal ini adalah pendidikan baik itu pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Pendidikan yang baik adalah salah satu syarat utama yang harus dipenuhi untuk menjamin eksistensi suatu bangsa agar mampu bersaing dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Tidak hanya itu, pendidikan juga sangat berperan untuk mem- bentuk sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi dan seimbang antara unsur intelektual, moral, dan spiritual. Dengan pendidikan yang bermutu dan tersistem dengan baik, maka karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang unggul akan terbentuk dan terpupuk dengan baik pula. 

Bagaimana- pun pendidikan merupakan investasi peradaban manusia. Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, informal, maupun nonformal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat. Adapun karakter kuat ini dicirikan oleh kapasitas moral seseorang, seperti kejujuran, kekhasan kualitas seseorang yang membe- dakan dirinya dari orang lain, serta ketegaran untuk meng- hadapi kesulitan, ketidak enakan, dan kegawatan (Hidayat, Komaruddin & Putut Widjanarko, 2008, h. 184). Karakter bangsa yang kuat bisa diperoleh dari sistem pen- didikan yang baik dan tidak hanya mementingkan faktor kecerdasan intelektual semata, melainkan juga pendidikan yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan serta meng- hasilkan output yang tidak sekadar mampu bersaing di dunia kerja, namun juga mampu menghasilkan karya yang berguna bagi masyarakat, agama, bangsa, dan negara. Untuk mewujudkan hal itu, maka diperlukan pendidikan yang mencakup dua unsur utama, yaitu keunggulan akademik dan keunggulan spiritual.

Pendidikan formal di sekolah meru- pakan salah satu upaya untuk pem- bentukan sikap, keterampilan dan pengetahuan mulai jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Ada dua model penyelenggaraan pendidi- kan yang selama ini telah berkembang di Idnonesia yaitu pendidikan formal di sekolah dan pendidikan non formal diantaranya dilak- sanakan di pondok pesantren. Di samping itu, pondok pesantren juga menjadi salah satu pilihan pendidikan karena lembaga ini mengutamakan upaya pencerdasan spiritual atau keagamaan. Dalam perkembangan- nya, sekarang ini banyak pondok pesantren di Indonesia yang juga menyelenggarakan pendidikan formal persekolahan. Pilihan memadukan sistem pendidikan formal formal di sekolah dan pondok pesantren ini, karena secara umum sekolah dan pondok pesantren merupakan dua lembaga pendidikan yang masing – masing memiliki keunggulan yang berbeda satu sama lain. Apabila keunggulan dari kedua lembaga pendidikan itu dipadukan, maka akan tercipta se- buah kekuatan pendidikan yang kuat dan berpotensi mampu menghasilkan generasi muda Indonesia yang unggul, handal, dan berkarakter. Pesantren di Indonesia yang telah menyelenggarakan pen- didikan formal persekolahan ini jumlahnya cukup banyak dengan kualitas yang sangat bervariasi. Untuk itu Direktorat Pembinaan SMP, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Ke- menterian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Ke- menterian Agama melakukan pembinaan agar upaya-upaya pembentukan karakter di atas menjadi lebih optimal. Perspektif Teoritis Pengertian pendidikan secara harfiah adalah proses, cara, atau perbuatan mendidik. Pendidikan berasal dari kata dasar didik yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikir- an (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, h. 352). Secara lebih rinci, pendidikan dapat dimaknai sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepriba- dian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Secara psikologi, tujuan pendidikan adalah pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Istilah karakter mempunyai beberapa pengertian. Kamus Besar Ba- hasa Indonesia (KBBI) mengartikan karakter sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain (Pusat Bahasa, 2005, h. 1270). Watak sendiri dapat dimaknai sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti, serta tabiat dasar. Menurut Musfiroh (2008, h. 27), karakter mengacu pada serangkaian sikap perilaku (behavior), motivasi (motiva- tion), dan keterampilan (skill) yang meliputi keinginan untuk melakukan hal yang terbaik. Sedangkan menurut Semiawan (dalam Soedarsono, 1999, h. 17) karakter adalah keseluruhan kehidupan psikis seseorang yang merupakan hasil interaksi antara faktor endogin dan faktor eksogin atau pengalaman dari seluruh pengaruh lingkungan. Untuk menjadi manusia yang berkarakter, seseorang tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai moral tanpa disertai adanya karakter bermoral. Adapun yang termasuk dalam karakter bermoral, menurut Lickona (1992) adalah tiga komponen karakter (components of good character), yakni pengetahuan tentang moral (moral know- ing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral actions). Ketiga hal ini diperlukan agar se- seorang mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti berpikir positif, simpati, empati, jujur, religius, peduli, rendah hati, dan lain-lain.

Usia sekolah menengah pertama (kurang lebih usia 12 - 15 tahun) menjadi masa pengembangan karakter yang paling penting dalam fase kehidupan manusia. Fase ini disebut dengan nama Period of Formal Operation. Pada usia ini, seseorang sedang mengalami fase pencarian jatidiri yang ditandai dengan kemampuan berpikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna (meaningfully) tanpa memerlukan objek yang kongkret, bahkan objek visual sekalipun. Selain itu, pada tahap Period of Formal Operation juga sedang berkembang 7 (tujuh) kecerdasan yang disebut Multiple Intelligences. Adapun ketujuh jenis kecerdasan itu mencakup linguistic intelligence, logical-mathe matical intel- ligence, spatial intelligence, bodily-kinesthetic intelligence, mu- sical intelligence, interpersonal-intelligence, dan intrapersonal intelligence (Rosada, 2009, h. 108). Dengan demikian, pendidikan, terutama usia siswa SMP tidak bisa mengabaikan pentingnya pembentukan karakter, atau yang kemudian dikenal sebagai pendidikan karak- ter. Lantas apakah pendidikan karakter itu? Secara umum pendidikan karakter adalah suatu istilah untuk menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi perkem- bangan personal. Sebagaimana telah ditulis di atas, Lickona (1992) menjelas- kan bahwa pendidikan karakter adalah upaya penanaman dan pembentuk an karakter yang menekankan pada pent- ingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feel- ing atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral.

Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan proses yang ter- integrasi dengan pendidikan secara luas dan bertahap, dari pendidikan di dalam keluarga, lembaga pendidikan (misal- nya sekolah, baik formal, informal, atau nonformal), hingga di kehidupan bermasyarakat. Pendidikan karakter juga menjangkau proses penanaman nilai-nilai agama, budaya, adat-istiadat, dan estetika. Dengan kata lain, pendidikan karakter adalah upaya agar peserta didik mengenal, peduli, dan menginteranalisasi nilai-nilai sehingga mereka dapat berperilaku sebagai insan kamil (Syafaruddin, 2012, h. 192). Dalam konteks ini, lembaga pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai agama atau spiritual, seperti pondok pesantren, mutlak diperlukan. Jika sekolah formal (SD, SMP, SMA, SMK, dan sejenisnya) memfokuskan sistem pendidikan- nya pada sektor kecerdasan intelektual atau akademik, maka pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan yang mengutamakan pengajarannya pada sektor kecerdasan spiri- tual dan pendalaman ajaran agama Islam. Pandangan tentang pondok pesantren sendiri cukup bera- gam. Pondok pesantren dapat dipandang sebagai lembaga ritual, lembaga pembinaan moral, lembaga dakwah, atau lembaga pendidikan Islam. Sejak didirikan pertama kali, pesan tren memang merupakan sebuah lembaga pendidikan yang memfokuskan peng ajaran dalam bidang agama Islam (Widiyanta & Miftahuddin, 2009, h. 180-181). Istilah pesantren sendiri berasal dari kata santri, yang mendapatkan imbuhan berupa awalan pe- dan akhiran -an. Oleh karena itu, pesantren dapat dapat diartikan sebagai tempat tinggal para santri. Arti kata santri sendiri adalah orang yang mendalami agama Islam, atau orang yang beriba- dah dengan sungguh-sungguh, atau orang yang saleh (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, h. 1266). Pesantren kemudian lebih dikenal dengan sebutan yang lebih lengkap, yaitu pondok pesantren. Pesantren disebut dengan pondok karena sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendi- dikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau berasal dari bahasa Arab yang berarti hotel atau asrama (Dhofier, 1994, h. 18). Sama seperti sekolah formal, pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan belajar-mengajar. Unsur-unsur yang terdapat di lembaga pondok pesantren pun serupa dengan yang terdapat di seko- lah formal. Ada kiai sebagai guru, santri sebagai murid, kitab sebagai buku, pondok sebagai kelas dan asrama, pen dalaman ajaran agama (termasuk pengajaran kitab) sebagai mata pelajaran, dan seterusnya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya pada konteks pen- didikan, makna pondok pesantren pun menjadi meluas dan tidak sempit lagi. Kuntowijoyo (1991, h. 251), menggambar- kan tempat-tempat seperti madrasah, tempat keterampilan (kursus), universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga, dan sekolah umum pun terkadang menjadi unsur-unsur seperti sebuah pondok pesantren.

Pendidikan di pondok pesantren seringkali dikategorikan ke dalam sistem pendidikan tradisional karena lembaga ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam di Indonesia (Mastuhu, 1994, h. 55). Namun demikian, seiring perkembangan zaman, di Indonesia seka- rang ini banyak pesantren yang memperbaharui konsepnya menjadi lebih modern, seperti Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam di Jawa Tengah, Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor di Jawa Timur, Pondok Pesantren La Tansa di Jawa Barat, dan lain sebagainya. Upaya memadukan pendidikan sekolah formal, khususnya SMP, dengan pondok pesantren akan menghasilkan sistem pendidikan yang lebih kuat dan lengkap. Pengembangan model pendidikan SMP berbasis pesantren sebenarnya merupakan upaya dalam memadukan keunggulan pelaksa- naan sistem pendidikan di sekolah dan keunggulan pelaksa- naan sistem pendidikan di pondok pesantren. Mengapa Harus Dimulai di SMP? Pemerintah melalui kementerian terkait sesungguhnya sudah berusaha untuk memperbaiki mutu pendidikan formal me- lalui berbagai cara dan langkah yang terus disempurnakan. Upaya tersebut misalnya dengan menyusun kurikulum yang dinamis dan fleksibel dengan penyediaan bahan ajar yang disusun secara sisrematis sesuai dengan kompetensi yang hendak dicapai. Strategi dan model pembelajaran pun telah dirumuskan dengan bentuk yang variatif dan berorientasi pada efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. Selain itu, peningkatan kualitas juga ditujukan untuk para pendidik yang harus memiliki kualifikasi dan kompetensi yang memadai dan bisa dipertang gung jawabkan. Pemerin- tah juga mengupayakan ketersediaan sarana dan prasarana sebagai penunjang proses pendidikan, serta sistem penge- lolaan sekolah yang lebih profesional. Salah satu sasaran utama sekolah formal yang akan dipadukan dengan sistem pendidikan di pesantren adalah sekolah menengah pertama atau SMP. Mengapa demikian? karena siswa sekolah usia SMP, yaitu antara 13-15 tahun, merupakan tingkat usia yang rentan. Tingkat usia ini merupakan usia peralihan dari masa anak-anak ke usia remaja. Usia anak SMP termasuk ke dalam fase genital di mana pada masa ini, proses psikoseksual seseorang mencapai “titik akhir”. Fase ini juga sering disebut dengan nama masa pubertas, yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan dalam tubuh yang mengiringi rangkaian pendewasaan, baik fisik maupun psikis. Para psikolog menyebut masa pubertas sebagai masa yang sarat akan badai dan tekanan (storm and stress). Pada usia ini, seseorang sudah tidak lagi dipan dang dan diperlakukan sebagai anak-anak, namun juga belum sepenuhnya meng adopsi, apalagi mempratikkan, pola perilaku usia dewasa (Amriel, 2008, h. 19).

Ketika mengalami masa pubertas, seseorang akan dihadapkan pada berbagai kebutuhan akal. Zahran (dalam. Az-Zaba- lawi, 2007, h. 516) menggolongkan berbagai kebutuhan akal pada fase pubertas menjadi beberapa jenis kebutuhan, antara lain kebutuhan berpikir dan memperluas dasar pemikir- an serta perilaku, kebutuhan ingin mengetahui berbagai hakikat, kebutuhan ingin mendapatkan penjelasan tentang berbagai hakikat, dan kebutuhan akan kedisplinan. Selain itu, kebutuhan akan berbagai pengalaman baru, kebu- tuhan untuk memenuhi kebutuhan diri dengan cara bekerja, dan kebutuhan untuk meraih kesuksesan studi, kebutuhan untuk mengungkapkan jatidiri, kebutuhan akan kesesuaian, kebutuhan ingin melakukan hal-hal yang menarik perha- tian dan menantang, kebutuhan akan berbagai maklumat dan perkembangan kemampuan, kebutuhan mendapatkan pengarahan yang bersifat memperbaiki dan mendidik, dan lain sebagainya (Az-Zabalawi, 2007, h. 516). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usia remaja atau usia siswa SMP adalah usia pencarian identitas dan sangat rentan terjerumus dalam lingkungan pergaulan yang cenderung negatif. Oleh karena itu, di samping dikawal melalui pendidikan formal di sekolah, remaja pada usia ini juga perlu diberi asupan mengenai pemahaman yang bersifat spiritual, dalam hal ini adalah sistem pendidikan pondok pesantren. Seperti halnya di sekolah formal, sebagaimana telah dising- gung sebelumnya bahwa sistem pendidikan di pesantren juga memiliki beberapa keunggulan yang tentunya memi- liki kekhasan tersendiri. Keunggulan yang dimiliki pondok pesantren antara lain, misi pendidikannya banyak ditekan- kan pada aspek moralitas dan pembinaan kepribadian, kultur kemandirian dan interaksi sosial dengan masyarakat sekitar secara langsung dan berlangsung 24 jam sehari. 

Selanjutnya, penguasaan literatur klasik yang sarat dengan nilai-nilai dan pesan-pesan moral yang berguna bagi pengembangan peradaban yang beretika, kharisma kyai sebagai manajer dan pengasuh lembaga pesantren menjadi- kan panutan dan teladan dalam kehidupan sehari-hari, serta hubungan kyai dan santri yang bersifat kekeluargaan dengan kepatuhan yang tinggi (Kemdiknas, 2011, h. 3). 

Perpaduan sistem pendidikan sekolah menengah pertama dan pondok pesantren menuntut adanya harmonisasi antara 2 (dua) keunggulan model pendi dikan dalam satu ling- kungan yang dikelola secara terpadu, saling mengisi, dan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi sumber daya manusia Indo nesia yang handal. Tujuan tersebut tentu saja baru bisa dicapai apabila ada tin dakan-tindakan kong- kret yang dipelopori oleh pemerintah melalui kementerian terkait bersama-sama dengan lembaga pendidikan dan masyarakat. Oleh karena itu sejak tahun 2008 Direktorat Pembinaan SMP, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Kemeterian Agama dibantu oleh CERDEU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melakukan pembinaan terhadap SMP yang ada di pesantren pada berbagai provinsi di Indonesia. Sampai dengan tahun 2014, telah ada 230 SMP Berbasis Pesantren yang melakukan program – program kerjasama dari dua kementerian tersebut. Di antara program yang dilaksanakan Direktorat Pembinaan SMP, Kemendikbud dalam meningkatkan kualitas penyeleng- garaan pendidikan adalah seperti pembinaan pada SMP-SMP reguler lainnya, diantaranya 1) pemenuhan kebutuhan sarana prasarana sekolah seperti ruang kelas baru (RKB), uang be- lajar lain (RBL), rehabilitasi gedung sekolah, penyediaan alat pendidikan, 2) bimbingan teknis kepada kepala sekolah dalam penyusunan RKS dan RKAS serta pengembangan KTSP kepada para guru, 3) pemenuhan standar pembiayaan, seperti bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan siswa miskin (BSM), dan beasiswa bakat dan prestasi. Di samping itu, Direktorat Pembinaan SMP juga memberi- kaan subsidi yang dikirim dan dikelola langsung oleh seko- lah dalam rangka pengembangan SMP Berbasis Pesantren untuk memenuhi Standar-standar Nasional Pendidikan (SNP). Besaran subsidi yang diberikan bervariasi tergantung pada jumlah siswa yang ada di masing-masing SMP Berbasis Pesantren. 

Dalam rangka memperkuat dan mempertajam pelaksanaan pendidikan karakter di SMP, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag memotori penyusunan panduan integrasi kultur pesantren ke dalam proses pem- belajaran, ekstra kurikuler dan manajemen sekolah. Upaya ini juga diperkuat dengan program Direktorat Pembinaan SMP, Kemendikbud menyelenggarakan workshop-workshop secara bertahap yang diikuti oleh para wakil kepala sekolah bidang kurikulum, guru mata pelajaran IPA (Fisika dan Bi- ologi), Matematika, IPS, bahasa (Indonesia dan Inggris) dari 182 SMP Berbasis Pesantren untuk menyusun silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) bernuansa kultur pesantren yang pada intinya juga berisi nilai-nilai pendidik- an karakter. Adapun kultur kepesantrenan yang ditekankan tersebut adalah: Pendalaman Ilmu-ilmu Agama, Mondok, Kepatuh-an, Keteladanan, Kesalehan, Kemandirian, Kedisiplinan, Kesederhanaan, Toleransi, Qana’ah, Rendah Hati, Ketabahan, Kesetiakawanan/Tolong Menolong, Ketulusan, Istiqamah, Kemasyarakatan, Kebersihan. Oleh karena itu, jika SMP berbasis pondok pesantren dikelola dengan baik, maka hasil yang akan diperoleh pun juga berkualitas baik. Lulusan SMP Berbasis Pesantren diharapkan bisa menjadi manusia Indonesia yang handal, memiliki integritas intelektual, spiritual, dan emosional, serta berwatak plural dan multikultural, menghargai hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang madani, berkarakter, serta mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Sumber :  http://ditpsmp.kemdikbud.go.id/

0 komentar:

Posting Komentar

PENERIMAAN SISWA BARU

Yayasan Pendidikan Dan Sosial Pondok Pesantren Menerima Pendaftaran Siswa Baru Mulai Pertengahan Mei 2016, Untuk Tahun Ajaran 2016-2017 Jenjang Pendidikan : SMP Berbasis Pesantren Hidayatus Saalikin, Madrasah Aliyah Juga Umum ( SMK-SMA) Dengan ketentuan mentaati dan patuh pada tata tertib Pondok Pesantren...... BACA SELENGKAPNYA